Ya, seorang ibu *dan ayah tentu saja* memang harus pintar. Pintar dalam arti yang sesungguhnya, ya pintar masak, pintar nyanyi, pintar dongeng, pintar "marah"(maksudnya marah yang pintar!!! nah lo...bingung khan), pintar berdo'a, pintar menjawab, pintar "ngeles" dan masih banyak pintar lainnya. Ini makin saya rasakan ketika ada 2 makhluk kecil yang harus saya bagi kasih sayangnya secara adil. Mungkin sekilas terasa mudah, tapi tidak demikian yang saya rasakan. Semua ternyata butuh yang namanya "manajemen sabar" dan proses belajar yang tiada henti.
Kalo saya lagi bengong, kadang bener-bener takjub (alias terheran-heran) bagaimana saya yang notabene anak manja bin males bisa mengurus 2 bocah kecil (meski masih jauh dari sempurna). Saya memang suka anak kecil, apalagi yang lucu en monthok karena posisi saya sebagai anak bungsu memang membuat saya terkadang "rindu" seorang adik. Tapi ilmu tentang anak dan segala tetek bengeknya sama sekali buta, dan keadaan memaksa saya untuk mulai belajar. Setelah menikah, saya mulai menyukai artikel-artikel tentang kehamilan dan anak. Kemudian, pada saat hamil otomatis saya mulai mencari tahu apa sih yang harus saya lakukan dengan "bayi" saya nanti. Setelah lahir, saya mulai mencari info imunisasi, bagaimana memberi ASI, makanan bayi itu gimana buatnya en sederet daftar panjang tentang anak yang waduh....sangat terlambat saya tau. Bahwa mengurus bayi bukan perkara hanya dinyanyiin saja, dan sekali lagi saya sadar harus belajar menjadi ibu yang pintar.Sudah merasa membaca ini itupun, terkadang saya masih terbengong-bengong mendengar cerita atau pengalaman sesama ibu yang membuat saya merasa "kurang".akh, ternyata saya ibu yang belum pintar.
Belum lagi kalo anak sakit, setumpuk buku kesehatanpun kadang tidak mengurangi rasa kekhawatiran saya. Jadilah saya sering mengunjungi dokter, meski untuk urusan yang ternyata umum dialami anak.misalnya, waktu naufal bayi dan terlihat ada kotoran di hidungnya. Saya bingung bagaimana caranya mengeluarkan kotoran tersebut tanpa melukai hidung mungilnya?akhirnya, saya bawa ke dokter, dan sekali "cuthik" saya harus merogoh saku agak dalam untuk sang dokter spesialis atas jasanya. tentu saja ini terjadi karena saya belum pintar.
ups, maaf sepertinya saya harus membuat curhatan kali ini bersambung.karena Fauzan sudah terbangun dari tidurnya. sekali lagi, ini karena saya sedang belajar menjadi ibu yang pintar membagi waktu.susah ternyata yach......